Tahun 2015 saya dan istri saya memulai sebuah lembaga pendidikan yang ketika itu produknya cuma satu, yaitu Les Privat. Les Privat tersebut kami namai Juara-Kelas. Les privat kami rilis sebagai produk perdana itu karena relatif mudah untuk dimulai dan bisa menghidupi dirinya sendiri.
Juga waktu itu niatnya untuk membantu adik-adik kelas mahasiswa yang butuh uang tambahan untuk biaya hidup atau kuliah. Karena secara pribadi dulu saya juga mengalami fasa itu, hidup di perantauan sambil membiayai kebutuhan kuliah dari pendapatan mengajar privat. Walaupun pada keberjalanannya mitra pengajar kami bukan hanya mahasiswa, tetapi juga fresh-graduate yang sedang menunggu lowongan pekerjaan atau sedang menunggu kesempatan beasiswa S2, bahkan ada juga karyawan atau guru, namun ingin mencari tambahan penghasilan.
Alhamdulillah bisnis les privat ini ramai. Dalam 2-3 tahun ini berjalan mungkin bisa dibilang kami termasuk top 10 besar di Kota Bandung dari sisi jumlah siswa dan pengajar.
Namun hal ini sebenarnya yang menjadi dilema buat kami.
Dari awal kami membuat lembaga pendidikan kami berpandangan les privat atau bimbel adalah sebuah kesalahan dalam memahami fungsi sekolah. Sehingga bagi kami les privat sebenarnya mungkin hanya batu loncatan untuk mengumpulkan modal untuk sesuatu yang lebih besar.
Banyak memang orang tua dan siswa yang berterima kasih kepada kami, karena siswanya lulus A, diterima B, meningkat prestasinya, menjadi juara kelas, dan sebagainya. Kami bersyukur juga bisa memberi manfaat itu.
Namun jika kita coba pahami lebih dalam, sebagian besar orang tua meleskan anaknya agar tidak ketinggalan pelajaran di sekolah, agar ujian hasilnya bagus dan agar bisa berprestasi di sekolah. Padahal harusnya sekolah adalah untuk tempat belajar, bukan untuk berkompetisi. Harusnya di sekolah salah tidak apa-apa, belum mengerti tidak apa-apa, karena itu tempat belajar.
Jadi semakin ramai tempat les privat, tempat bimbel, semakin banyak kesalahpahaman terhadap fungsi sekolah.
Dan menurut saya pemahaman yang salah terhadap fungsi sekolah dan pendidikan kita juga merupakan sebab dari keselahan sistem pendidikan. Adanya ujian terstandar nasional adalah salah satunya.
Terkait dengan konteks ini, Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Padi tidak akan pernah jadi jagung.“ Einstein juga pernah berkata, “Everybody is a Genius. But If You Judge a Fish by Its Ability to Climb a Tree, It Will Live Its Whole Life Believing that It is Stupid.”
Setiap anak adalah unik dan berbeda, jadi penyamarataan ujiannya adalah kesalahan.
Belum lagi bicara sekolah. Sekolah juga berbeda-beda, ada yang fasilitasnya bagus, ada yang gurunya bagus, ada yang punya internet, namun banyak juga yang tidak. Maka jika supporting system untuk pendidikannya belum terstandar bagaimana bisa penentuan hasilnya diharuskan menggunakan standar yang sama.
**
Cita-cita kami di bidang pendidikan sebenarnya cukup simple dan agak egois mungkin. Kami cuma mau nanti anak-anak kami bisa belajar di sekolah yang memahami keunikan anak-anak muridnya. Sekolah yang merupakan tempat belajar bukan berkompetisi. Sekolah yang punya kurikulum, metode dan guru-guru yang benar-benar bagus. Dan kami harus benar-benar yakin atas hal itu, bukan karena kemakan iklan dan promosi, tapi karena kami yang bekerja membuat dan memastikan itu terjadi.
Saya dan istri saya dulu ketika sekolah tidak suka sejarah, karena membosankan. Padahal jika sejarah disampaikan dengan baik manfaatnya besar sekali. Istri saya tidak suka pelajaran geografi. Padahal jika kami traveling dia sangat senang mempelajari negara-negara. Saya dulu tidak suka pelajaran ekonomi dan akuntansi. Padahal sekarang itu termasuk subject yang paling sering saya baca. Kami belajar fisika hanya menghafal rumus, padahal kalau tahu implementasi dan konsepnya semua akan lebih mudah dan menyenangkan.
Kami mau apa yang bayangkan idealita kami tentang sekolah bisa ada dan harus ada untuk anak-anak kami.
Kami juga mau punya sekolah yang memiliki guru yang paling bagus dan diapreasisi dengan baik pula. Tanpa bermaksud tidak menghormati guru-guru kami, namun menurut kami guru-guru kurang diapresiasi dengan pantas. Sehingga sepulang mengajar di sekolah mereka masih sibuk untuk mencari tambahan untuk memenuhi kebutuhan dapurnya. Mengajar privat, cari obyekan fotocopy kisi-kisi soal ujian dan sebagainya. Sehingga membuat sebagian dari mereka tidak maksimal ketika mengajar di kelas utamanya. Pikirannya kemana-kemana.
Gaji guru harus besar, sehingga tidak perlu lagi pusing. Bisa fokus dalam mendidik generasi masa depan bangsa.
**
Mudah-mudah bukan cuma mimpi, mudah-mudahan narasi ini selalu hidup dalam lembaga pendidikan yang kami jalankan.
Terima kasih kak ..blog nya sangat informatif n menginspirasi,tetap berkarya kak!